Pada peringatan Hari Pers Nasional di Manado, 11 Februari lalu, Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia, H Margiono, mempertanyakan independensi pers. Dalam hal ini beliau mencontohkan tentang siapa yang menjamin independensi beberapa perusahaan media seperti Media Group, Trans Corp dan Jawa Pos. Menteri Komunikasi dan Informatika, Tifatul Sembiring juga mempertanyakan tentang hal tersebut. Hal ini pula bersangkutan dengan profesionalisme dan independensi pers, apalagi tahun politik 2014.
Pada masa saat ini faktanya media di Indonesia masih elitis, isinya seragam, dan kepemilikannya terkonsentrasi. hal ini di tunjukan dengan Jumlah media cetak sebanyak 1324 buah, dengan 23,3 juta sirkulasi dan 9,4 juta eksemplar bagi 240 juta penduduk (Serikat Perusahaan Pers, 2013). Jumlah ini masih belum memadai, karena seharusnya memiliki perbandingan 1:10 antara surat kabar dengan penduduk. Lain halnya dengan pertumbuhan internet di Indonesia yang bisa dibilang pesat, namun penetrasinya baru 24,23% atau 63 juta penduduk (APJII, 2012).
Begitu juga dengan media massa milik pemerintah yang dimana belum mendapat perhatian yang layak. Seperti halnya media lain yang berjangkauan luas yaitu televisi, dengan 78% dan 67% diantaranya atau sekitar 122 juta memiliki akses (Media Scene, 2011). Terdapat 300 stasiun televisi, namun 200 diantaranya dikuasai 10 stasiun televisi nasional. Media radio Indonesia dapat dibilang paling luas jangkauannya, total 1178 radio, dengan 775 radio komersial, sisanya adalah radio lokal dan komunitas, bahkan RRI berjumlah 77.
Peraturan regulasi mengatur media menjadi dua: Pertama, media yang tidak menggunakan wilayah publik atau frekuensi seperti koran dan majalah. Kerena dalam hal ini berlaku prinsip pengaturan diri sendiri oleh penerbit dan organisasi pers maka di Indonesia di dirikanlah Dewan Pers yang bertugas meningkatkan kualitas profesi wartawan dan menyelesaikan sengketa pemberitaan pers. Akan tetapi keberadaan Dewan Pers di nilai belum maksimal dan masih perlu diperbaiki karena banyaknya pihak yang merasa penyelesaian sengketa belum seperti yang diharapkan.
Kedua, media yang memakai wilayah publik seperti radio atau televisi, pengaturannya ketat dan harus netral. Namun yang terjadi sekarang adalah isinya relatif seragam dan banyak menimbulkan kontroversi, sistem berjaringan belum berjalan serta kepemilikan yang berlebihan.
Hal ini dapat di tinjau perbedaannya apabila ditilik dari sisi sanksinya. Apabila isi media cetak tidak independen, maka tidak bisa diberi sanksi hukum, melainkan hanya sanksi etik dan sosial. Sedangkan media elektronik yang tidak netral bisa mendapatkan sanksi etik, sosial, dan hukum. Regulasi penyiaran yang ditangani oleh KPI sudah cukup banyak memberi sanksi, namun tetap saja masalah independensi, KPI masih kurang tegas.
Kementerian Kominfo sebaiknya ikut berperan agar tidak membiarkan konsentrasi penyiaran terjadi. Seperti yang dikutip oleh Mahkamah Konstitusi dari peraturan pemerintah berbunyi bahwa seseorang atau badan hukum langsung maupun tidak langsung hanya boleh memiliki paling banyak dua stasiun televisi di dua provinsi berbeda. Namun yang terjadi sekarang, subjek yang dimaksud bisa menguasai dua stasiun televisi di satu provinsi, bahkan ada yang sampai tiga.
Introspeksi perlu dilakukan oleh pers Indonesia dan peran regulator harus ditingkatkan untuk mengatasi lemahnya independensi media maupun demokrasi. Penegakan hukum pun harus dilakukan Kementerian Kominfo bekerjasama dengan KPI serta Bapepam-LK untuk mencegah tubuhnya kapitalisme media.
#BridgingCourse
0 komentar:
Posting Komentar